Menatap buku-buku usang yang tergeletak di pojok kamar
kosan, lemari baju yang sedikit terbuka dan foto-foto keluargaku yang tertata
rapi didalam bingkai. Hari sudah sore ketika aku pulang dari rutinitasku, entah
apa yang aku kerjakan akhir-akhir ini. Biasanya setiap hari selalu pulang
malam, sekitar jam 1 atau jam 2 dinihari, tetapi ada yang berbeda dengan hari
ini. Aku pulang ke tempat biasa aku tertidur ketika hari masih sore, bisa
dibilang menjelang senja.
Agak aneh memang, aku yang biasa melihat terangnya malam
dengan lampu kota dan sorot kendaraan, kini melihat dengan jelas indahnya
dunia. Anak-anak kecil pulang dari madrasah, ibu-ibu bersenda gurau diujung
gang komplek sambil mengajak main anak-anak kecil mereka. Dilapangan dekat kosanku,
banyak anak-anak sudah siap bermain bola. Salah satu anak dengan baju
kebesarannya, yap sebuah jersey sepakbola bertuliskan bambang pamungkas,
bernomor punggung 10. Baju usang yang aku tahu selalu ia pakai setiap sore,
berharap akan menjadi sosok yang sudah lama diidolakannya itu. Tidak terbayang
akan kebanggan saat memakainya.
“Menyesal saya, melewatkan momen-momen ini” tanpa sadar,
tanganku sudah bergerak menuju dispenser untuk menghangatkan air.
Kembali kugali ingatanku saat pulang dari kampus tadi, oh
iya aku melihat beberapa penjual makanan sudah bersiap dengan dagangannya.
Wajah penuh harap, akan rejeki yang akan mereka peroleh hari ini. Sang suami
mendorong gerobak dengan antusias dan si istri menemaninya dengan tulus. Wajah
optimis tergambar jelas dikedua muka mereka, tanpa sadar kulihat anak-anak
remaja sedang asyik ber-jogging ria menikmati sore yang dingin.
“Sudah berapa tahun aku tidak lari-lari, badan rasanya sudah
tambah melar saja” gerutuku dalam hati. Ah sudahlah toh mereka masih muda, ya
pantas harus menjaga badan. Tapi, umurku juga belum genap 20 tahun. Tetapi,
hanya nikotin dan kafein yang masuk kedalam tubuhku setiap harinya.
Dispenser air sudah panas rupanya, aku menengok ke dapur
mencari apa yang akan aku minum sore ini. Di meja dapur masih berserakan
bungkus mie serta tumpahan kopiku tadi pagi. “Aah, bosan aku dengan
kopimi-kopimi” Aku mencoba mencari lebih detail tiap sudut dapur, dan kutemukan
beberapa bungkus teh.
“Jackpot! Tapi, teh tahun kapan ini” kutengok tanggal
kadaluarsanya, wah masih lama. Baru aku ingat kalau ternyata ini teh saat
terakhir kali ibuku berkunjung, mungkin 3 atau 4 bulan lalu. Tanpa berpikir
panjang kubuat teh manis, untuk sekedar menemaniku sore ini.
Soreku sangat sederhana, dengan teh manis dan indahnya awan.
Matahari sudah mulai tergelincir ke ufuk barat, dengan gagahnya masih tetap
memancarkan sinar. Tehku yang awalnya agak pahit berangsur manis dengan
teguk-teguk indah yang aku rasakan. Tanpa sadar aku sudah lupa dengan berbagai
masalah yang ada padaku, sederhana sore ini membuaiku aku seakan baru tahu
kalau ada sore diantara siang dan malam.
Pemimpi
Mohammad Arkham Chadiar
Jantra


Tidak ada komentar:
Posting Komentar