16 April 2014

Bulan, boleh bicara denganmu malam ini?

Bulan, hariku akhir-akhir ini berbeda semenjak kehadiranmu, meskipun kau hanya hadir dalam diam. Aku memang tidak berani menatap keindahanmu secara langsung, tapi taukah bulan kalau aku selalu mencuri-curi pandang lewat jendela kamarku?

Bulan, aku memang hanya bisa mengirimkan pesa-pesan entah penting ataupun tidak tetapi paling tidak aku sudah mencobanya bulan.

Jika kau tahu bulan, hariku tadi memang sangat menyenangan tetapi akan berasa hampa tanpa ada kabar darimu. Bulan, aku selalu penasaran dengan apa yang terjadi denganmu hari ini, tapi ya begitulah.

Kau tahu bulan, bintang yang kubawa padamu kemarin adalah hasil kerja kerasku. Bahkan aku rela tidak makan malam untuk memberikan bintang itu, tapi sekali lagi aku minta maaf bulan, aku tak berani menatapmu langsung. Aku takut tak bisa tidur berhari-hari hanya untuk memikirkan wajahmu bulan.

Bulan, jika akhir-akhir ini sikapku banyak berubah aku minta maaf. Jika aku terlalu keras pada teman bintang primadonamu aku juga minta maaf bulan, aku tak bermaksud apapun aku hanya ingin mendapat perhatianmu bulan. Tapi, aku tahu kau sibuk dengan segala rutinitasmu.

"Bulan, bolehkah aku bicara denganmu malam ini?"

Mungkin aku tahu kau sibuk sekali, tetapi aku cuma mau bertanya tanya kabarmu siang tadi, aku ingin tahu kemana saja kau siang hari ini, aku ingin kau bercerita apapun yang kau dapat siang tadi, aku siap mendengarkannya meskipun tidak ada namaku kau sebut diceritamu, bulan.

Bulan, aku mungkin ingin bercerita sedikit tentangmu. Dulu awalnya aku tak tahu ada hal indah lain selain matahari disiang hari. Pada malam hari aku selalu tidur dan bangun pada siang hari untuk melihat indahnya matahari, tapi suatu malam aku tak bisa tidur dan aku melihat ke atas langit lewat jendela kamarku dan aku melihatmu.

Aku bertanya pada siapapun yang kutemui pada siang hari, siapa kah engkau bulan? Jujur aku tak bisa begitu saja melupakan matahari, tetapi aku tahu dalam keheninganmu aku menemukan sesuatu yang berbeda. Aku melihat kau bukan dari tampilan luarmu bulan, atau isi dalam bulanmu tapi aku melihatmu dari hatiku bulan. Aku juga tak bisa menjelaskannya, kalau kutanya temanku ini namanya cinta bulan. Aku juga tidak begitu percaya dengan mereka, tapi rasa yang mereka sebut cinta ini semakin hari semakin terasa dan sedikit demi sedikit aku baru tahu rasanya itu cinta.

Bulan, aku memang bukanlah seorang pujangga yang pandai merangkai kata-kata cinta ataupun hal untuk menaklukkan hatimu, tapi aku hanya ingin tahu kabarmu hari ini. Sudahkah kau melihat bintang diutara sana? Dia bersinar sangat terang hari ini.

“Hai”

“Hallo”

“Hehehehe”

Bulan, aku tak pandai melakukan hal ini. Aku tak pernah tahu bagaimana memulainya, tolonglah kau bantu aku bulan.

Bulan, haruskah aku melupakanmu juga seperti matahari dan hidup dengan bintang-bintang lain?

Aku masih ingat ketika aku mengajakmu menikmati hari bersama, kau selalu tidak bisa bulan. Mungkin, kau sibuk dengan hal-hal lain yang lebih penting. Bulan, aku masih menunggu sesuatu yang kau janjikan padaku, sepele memang tetapi mungkin itu satu-satunya kesempatanku untuk bisa melihatmu secara langsung.

Bulan, mungkin ini saatnya kita tidak saling sapa lagi sebagai apapun tetapi hanya sebagai manusia dan bulan sebagaimana layaknya. Bulan, aku pernah berbicara padamu tentang aku yang tidak bisa melanjutkan hal-hal setelah apa itu perkenalan dan selalu berakhir dengan perpisahan. Tapi, bisakah “perpisahan” itu kita hilangkan? Aku masih ingin selalu menatap keindahanmu dari jendela kamarku bulan. Meskipun itu dalam diam, tapi aku sangat menikmatinya bulan.


Bulan, terimakasih apa yang telah kau beri hari-hari kemarin kini saatnya aku menjadi manusia biasa yang tidak bisa berbicara denganmu, bulan. 

Tapi, jangan pernah kau pergi dari malamku bulan, terkadang aku ingin melihatmu lagi meskipun hanya lewat jendela kamarku. Bulan, terimakasih.

Jantra

10 April 2014

Sore Sederhanamu

Menatap buku-buku usang yang tergeletak di pojok kamar kosan, lemari baju yang sedikit terbuka dan foto-foto keluargaku yang tertata rapi didalam bingkai. Hari sudah sore ketika aku pulang dari rutinitasku, entah apa yang aku kerjakan akhir-akhir ini. Biasanya setiap hari selalu pulang malam, sekitar jam 1 atau jam 2 dinihari, tetapi ada yang berbeda dengan hari ini. Aku pulang ke tempat biasa aku tertidur ketika hari masih sore, bisa dibilang menjelang senja.



Agak aneh memang, aku yang biasa melihat terangnya malam dengan lampu kota dan sorot kendaraan, kini melihat dengan jelas indahnya dunia. Anak-anak kecil pulang dari madrasah, ibu-ibu bersenda gurau diujung gang komplek sambil mengajak main anak-anak kecil mereka. Dilapangan dekat kosanku, banyak anak-anak sudah siap bermain bola. Salah satu anak dengan baju kebesarannya, yap sebuah jersey sepakbola bertuliskan bambang pamungkas, bernomor punggung 10. Baju usang yang aku tahu selalu ia pakai setiap sore, berharap akan menjadi sosok yang sudah lama diidolakannya itu. Tidak terbayang akan kebanggan saat memakainya.

“Menyesal saya, melewatkan momen-momen ini” tanpa sadar, tanganku sudah bergerak menuju dispenser untuk menghangatkan air.

Kembali kugali ingatanku saat pulang dari kampus tadi, oh iya aku melihat beberapa penjual makanan sudah bersiap dengan dagangannya. Wajah penuh harap, akan rejeki yang akan mereka peroleh hari ini. Sang suami mendorong gerobak dengan antusias dan si istri menemaninya dengan tulus. Wajah optimis tergambar jelas dikedua muka mereka, tanpa sadar kulihat anak-anak remaja sedang asyik ber-jogging ria menikmati sore yang dingin.

“Sudah berapa tahun aku tidak lari-lari, badan rasanya sudah tambah melar saja” gerutuku dalam hati. Ah sudahlah toh mereka masih muda, ya pantas harus menjaga badan. Tapi, umurku juga belum genap 20 tahun. Tetapi, hanya nikotin dan kafein yang masuk kedalam tubuhku setiap harinya.

Dispenser air sudah panas rupanya, aku menengok ke dapur mencari apa yang akan aku minum sore ini. Di meja dapur masih berserakan bungkus mie serta tumpahan kopiku tadi pagi. “Aah, bosan aku dengan kopimi-kopimi” Aku mencoba mencari lebih detail tiap sudut dapur, dan kutemukan beberapa bungkus teh.
“Jackpot! Tapi, teh tahun kapan ini” kutengok tanggal kadaluarsanya, wah masih lama. Baru aku ingat kalau ternyata ini teh saat terakhir kali ibuku berkunjung, mungkin 3 atau 4 bulan lalu. Tanpa berpikir panjang kubuat teh manis, untuk sekedar menemaniku sore ini.

Soreku sangat sederhana, dengan teh manis dan indahnya awan. Matahari sudah mulai tergelincir ke ufuk barat, dengan gagahnya masih tetap memancarkan sinar. Tehku yang awalnya agak pahit berangsur manis dengan teguk-teguk indah yang aku rasakan. Tanpa sadar aku sudah lupa dengan berbagai masalah yang ada padaku, sederhana sore ini membuaiku aku seakan baru tahu kalau ada sore diantara siang dan malam.

                               



  Pemimpi


Mohammad Arkham Chadiar Jantra